
Apa jadinya, jika seorang santri salaf,
bernama Muhammad Ayyas, hidup di negeri paling menjunjung tinggi seks
bebas dan pornografi, yaitu Rusia? Akankah iman dan kehormatan-nya
dipertaruhkan demi memenuhi hasrat duniawi nonik-nonik muda Moskwa, yang
kecantikannya tiada tara?
Ayyas sudah memejamkan kedua matanya. Ia
ingin segera lelap. Tetapi bayangan Yelena dengan segala keindahan
tubuhnya, yang baru saja dilihatnya meskipun sekejap, seolah hadir di
pelupuk matanya. Bayangan wajah cantik Anastasia Palazzo juga
menari-nari di pelupuk matanya. Darah mudanya menghangat. Ayyas berusaha
menepis bayangan itu tetapi tidak mudah. Bayangan itu seperti telah
tersimpan dan menempel erat di salah satu sudut hatinya. Seperti virus
di komputer yang tidak mudah dihilangkan. Ayyas merasa ujian keimanan
ini terasa lebih berat dari musim dingin yang paling menggigit
sekalipun.
Rasa dingin yang menggigil itu bisa
hilang begitu saja ketika ia masuk di kamarnya yang hangat oleh pemanas.
Tetapi virus moleknya Yelena dan cantiknya Anastasia tidak mudah
dihilangkan. Meskipun ia telah shalat dan membaca Al-Quran, virus itu
tidak juga terdelete sempurna, masih tersisa, hanya bisa dijinakkan.
Ayyas membaca istighfar berulang kali. Lebih dari tujuh puluh kali.
Dalam istighfar ia teringat pesan Kiai Lukman Hakim, saat ngaji di
Pesantren Kajoran Magelang dulu,
“Ingatlah Nak, kecantikan wanita itu yang jadi sebab para santri dan satria agung batal bertapanya!”
Ayyas terus berzikir dan beristighfar
sampai tertidur. Dalam tidurnya yang pulas, Ayyas bermimpi ada dua ekor
ular masuk ke dalam kamarnya dan memburunya.
“Novel yang baik, menurut saya harus
memenuhi empat unsur; estetis, mencerahkan, enak dibaca, dan perlu. Dan
Bumi Cinta ini telah memenuhi keempat-empatnya...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar